Pandangan Belanda Tentang Pemberontakan Pati Terhadap Mataram-Kita sebagai sejarawan sebaiknya tidak hanya mempercayai kisah-kisah puitis sumber-sumber Jawa saja. Kekalahan Pati juga telah disebut pula dalam beberapa berita-berita Belanda, yang bagaimanapun memperkuat inti cerita-cerita Jawa. Dalam laporan tanggal 9 November 1627, Jan Pieters Zoon Coen memberitakan (Coen, Bescheiden, jil, V, hlm. 55): “Selama kemarau ini raja Mataram tidak berbuat sesuatu sampai baru-baru ini Raja Pati.....memberontak terhadapnya, sehingga raja Mataram terpaksa.... bahkan ia pribadi dengan tentara yang kuat pergi melawan kekuatan Pati; dan kurang lebih sebulan yang lalu terjadi pertempuran, yang menghasilkan kemenangan bagi raja Mataram dan seluruh Pati dikuasai olehnya; tentang yang masih ada, ada bermacam-macam cerita.”
Dengan adanya uraian tersebut, kita dapat mengetahui, seperti yang diinginkan cerita tradisional Jawa, bahkan pertempuran dimulai oleh Pragola II kemudian Sultan Agung pribadi bergerak maju melawan Pati dan pertempuran yang menentukan terjadi pada bulan Oktober 1627, ketika raja Sultan Agung memperoleh kemenangan penuh.
Setelah seperempat abad kemudian didapat lagi keterangan dari Rijklof Van Goens (Goen, Gezantschapsreizen, hlm. 187):” Namun, Sultan Agung memerlukan waktu lama untuk melawan Pati, daerah yang letaknya baik sekali untuk pertahanan, karena Pangeran Pati menarik diri dalam Ibu Kota Pati, yang dikelilingi tembok tebal sebagai dinding pertahanan, dengan maksud mempertaruhkan jiwanya demi kotanya....dan dianggap benar, bahwa pengepungan ini memakan korban 150.000 jiwa dari yang dikepung dan 200.000 dari yang mengepung, semuanya laki-laki. “Menurut Van Goens keturunan Pati “dimusnakan”, sedangkan tembok-tembok “Kota Pati dilenyapkan oleh pemenang, dan saya sendiri melihat puing-puingnya” (Goens, Gezantschapsreizen, hlm. 189).
Van Goens menulis bahwa tembok/dinding Pati dibuat oleh Adipati Pragola II, merupakan sesuatu yang dapat diragukan, karena bahwa Pragola II gugur dalam pemberontakan, secara panjang lebar digambarkan dalam cerita tradisional. Sebaliknya, kisah-ksah ini bercerita tentang sebuah pertempuran dan hampir tidak tentang pengepungan seperti diceritakan oleh Van Goens. Dalam cerita tradisional pun tidak begitu tegas tentang dimusnahkannya seluruh keturunan Pati seperti yang diberitakan Van Goens. Di tahun 1652 Van Goens mengunjungi Pati dan melihat dengan teliti kota indah ini dengan tembok yang sangat tebal dan tua (Goens, Gezantschapsreizen, hlm. 113).
Selanjutnya Van Goens mengatakan (Goens, Gezantschapsreizen, hlm. 223) bahwa setelah perusakan-perusakan tidak ada pangeran lagi di sana, namun seperti halnya di Jepara, ada sejumlah gebernur Raja sendiri, jadi mungkin Tumenggung. Dalam cerita kita jumpai dengan Tumenggung Mangun Oneng, yaitu seorang yang namanya sama dengan panglima tertinggi yang gugur dalam perang Pati.
Demikian ulasan yang dapat sampaikan tentang Pandangan Belanda Tentang Pemberontakan Pati. Untuk lebih pahamnya anda bisa membaca buku Dr. H. J. De Graaf, 1986. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafitipers. (Hlm.147-148). Kurang lebihnya mohon maaf karena dalam menulisnya hanya mengambil intinya saja. Sekian dan terimakasih sudah membaca maupun berkunjung. Bye..bye..